Tahun
2018 dan tahun 2019 adalah tahun politik. Karena di tahun ini bangsa Indonesia akan
memilih pemimpinnya. Di tahun 2018 ada pilkada serentak (Jabar, Jateng, Jatim,
dan lain-lain). Sedangkan di tahun 2019 akan ada pemilihan presiden. Umat Islam
yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia tentunya akan ikut andil dalam
pesta demokrasi ini.
Dalam
Islam, masalah kepemimpinan merupakan perkara yang sangat penting. Karena masalah
kepemimpinan akan berhubungan dengan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan
hajat hidup orang banyak, dan ini akan berpengaruh terhadap kehidupan dunia
akhirat. Jangankan masalah kepemimpinan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan
bernegara. Masuk toilet saja di Islam ada panduannya. Oleh karena itu, di dalam
al-Quran maupun al-Hadis kita akan akan menemukan dalil tentang masalah
kepemimpinan, diantaranya yaitu
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan
ulil amri di antara kalian (QS An-Nisa : 59)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang-orang beriman supaya mentaati
Allah dan Rasul-Nya serta pemimpin diantara mereka. Jadi taat terhadap pemimpin
bisa disebut sebagai ibadah kepada Allah, karena diperintahkan oleh Allah. Hanya
saja sifat taat kepada pemimpin itu tidaklah mutlak seperti taat kepada Allah
dan Rasul. Sehingga kalimat athii’uu dalam ayat di atas tidak diulang
lagi untuk ulil amri. Karena ketaatan kepada pemimpin terikat oleh
ketentuan selama tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul. Ketika perintahnya
bertentangan dengan aturan Allah dan rasul, maka tidak ada kewajiban taat
kepadanya. Perintah taat kepada pemimpin dalam ayat ini menjadi dilalah
isyarah bahwa pemimpin itu harus ada. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
sebuah hadis
إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ
فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Jika ada tiga orang bepergian, hendaklah
mereka mengangkat seseorang di antara mereka menjadi pemimpinnya (HR Abu Daud
No. 2.609 dari Abu Hurairah Kitab al-Jihad Bab Fi al-Qaumi Yusaafiruuna Yuammiruuna Ahadahum)
Dalam keadaan safar saja diperintahkan
untuk mengangkat pemimpin, apalagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
tentu perintahanya lebih kuat lagi. Bahkan dalam redaksi lain dengan ungkapan
tidak halal, yang berarti haram dalam sebuah perjalanan tidak ada pemimpin
لَا
يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ
أَحَدَهُمْ
“Tidak halal bagi tiga
orang yang berada di sebuah padang pasir kecuali mereka mengangkat salah
seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpinnya”. (HR
Ahmad No. 6.360 dari Abdullah bin ‘Amr)
Indonesia
menganut sistem demokrasi dalam pemilihan pemimpinnya. Di mana setiap orang
berhak untuk memilih pemimpinnya. Dan orang yang terbanyak suaranya, maka
dialah yang akan menjadi pemimpin. Meskipun sistim ini masih diperdebatkan, akan
tetapi dalam Islam tidak ada nash khusus yang mengatur metode pemilihan
pemimpin. Hal ini bisa dilihat dari prosedur pemilihan pemimpin sepeninggal
Rasulullah dari mulai Abu Bakar sampai Ali itu berbeda-beda. Ketika menjelang
wafat pun Rasulullah tidak memberikan petunjuk khusus tentang siapa orang yang
akan menggantikan kepemimpinannya. Padahal kepemimpinan itu merupakan hal yang
sangat penting. Hal ini menunjukkan bahwa memang Islam tidak memberikan aturan
khusus dalam metode memilih pemimpin. Maka jika demikian, metode demokrasi pun boleh
dilakukan selama tidak melanggar aturan-aturan Islam. Meskipun diakui dalam
demokrasi banyak kelemahan, akan tetapi ini jangan menjadi alasan kita tidak
ikut berpartisipasi dalam pemilihan pemimpin, karena mafsadat akibat tidak ikut
memilih pemimpin bisa lebih besar dibanding jika ikut memilih, yaitu
dikhawatirkan orang-orang jahat akan terpilih menjadi pemimpin karena orang
baik kalah suara akibat kurang pemilihnya. Jika orang jahat yang memimpin maka bisa
merugikan kehidupan Islam itu sendiri.
Jadi bagi rakyat
Indonesia, memilih pemimpin adalah sebuah amanah. Orang yang tidak memilih
pemimpin berarti telah mengabaikan amanahnya. Karena dengan seperti itu berarti
dia telah memberi kesempatan kepada pihak lain yang tidak layak untuk menjadi
pemimpin.
فَإِذَا
ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ:
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila amanah sudah disia-siakan maka tunggulah kiamat.
Seseorang
bertanya : "Bagaimana disia-siakannya amanat itu?". Nabi
ﷺ menjawab: "Jika urusan diserahkan
bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kiamat". (HR Bukhari No. 59 dari
Abu Hurairah Kitab al-Ilmi Bab Man Suila ‘Ilman wa huwa Muataghillun fii
Hadiitsihi)
Jangan dikira
bahwa kalau kita tidak ikut memilih, berarti kita tidak ikut bertanggungjawab
terhadap pemimpin yang telah terpilih. Golput atau tidak golput adalah pilihan.
Dan masing-masing pilihan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Jika
memang diantara calon-calon pemimpin itu tidak ada yang baik, maka pilihlah
yang paling sedikit jeleknya, pilihlah yang terbaik diantara yang jelek. Karena
hidup dengan pemimpin yang tidak baik masih lebih baik dibanding hidup dengan
tidak ada pemimpin. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah
سِتُّوْنَ
سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلَا سُلْطَانٍ
Enam puluh
tahun di bawah pemimpin yang dzalim lebih baik daripada satu malam tanpa adanya
pemimpin (Ibnu Tainiyyah dalam‘Itiqad Ahlu Sunnah : 19 ; Maktabah Syamilah)
Jika Pemimpin
Dzalim
Meskipun pemimpin
itu dzalim, ketaatan kepadanya harus tetap dilaksanakan selama dalam hal yang
ma’ruf. Karena ini merupakan perintah Allah. Adapun kedzalimannya maka tentu
jangan diikuti, bahkan harus ditentang dengan cara nasihat yang baik. Tidak
boleh melakukan pemberontakan apalagi kudeta, selama pemimpin itu masih
melaksanakan sholat. Hal ini sebagimana yang disampaikan oleh Rasul dalam
sebuah hadis
إِنَّهُ
يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ
فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا أَيْ
مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ
"Sesungguhnya ada beberapa pemimpin yang akan
ditugaskan untuk memimpinmu. Tetapi kamu tidak menyukai mereka dan bahkan
mengingkari perintahnya. Barang siapa yang tidak menyukainya, maka ia akan
terbebas dari dosa. Barang siapa yang mengingkarinya, maka ia akan selamat, kecuali
orang yang rela dan mau mengikutinya (maka ia tidak akan selamat)" Para
sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, bolehkah kami memerangi
pemimpin-pemimpin seperti itu?" Rasulullah menjawab, "Tidak boleh,
selama mereka masih tetap melaksanakan shalat" (Maksudnya, barang
siapa yang membenci dengan hatinya, maka ia boleh mengingkari dengan hatinya
pula). (HR Muslim No. 1.854 Kitab al-Imarah bab Wujubu al-Inkar ‘ala
al-Umaraai fiimaa Yukhaalifu al-Syar’a wa tarki Qitaalihim ma Shalluu wa nahwi
dzaalik)
Panduan dalam Memilih Pemimpin
Memilih pemimpin
adalah sebuah ibadah karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Di dalam
memilih pemimpin tidak boleh sembarangan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis di
atas, barang siapa memberikan kepemimpinan kepada bukan ahlinya maka tunggulah
kehancurannya. Maka Islam memberikan acuan dalam memilih pemimpin supaya tidak
jatuh ke dalam jurang kehancuran.
a. Dilarang memilih pemimpin non-muslim
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa umat
Islam dilarang memilih pemimpin dari kalangan non-Muslim sebagaimana
dikemukakan oleh ayat-ayat berikut
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin (QS Ali Imran :
28)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. (QS
An-Nisa : 144)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS al-Maidah : 51)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا
دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang
yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman. (QS
al-Maidah : 57)
Kata
auliya dalam ayat-ayat di atas merupakan jamak dari kata wali yang
arti dasarnya adalah dekat. Kemudian kata wali ini memiliki beberapa arti
seperti teman, penolong, tetangga, sekutu, dan pengurus yang kesemua arti ini
bisa menunjukkan kedekatannya. Bisa juga diartikan pemimpin karena pemimpin
merupakan orang yang mengurus umat dan memiliki kedekatan dengan kebutuhan
umat. Kenapa dilarang memilih pemimpin dari orang kafir ? wallaahu a’alam tidak
dijelaskan, mungkin diantara hikmahnya supaya tidak digunakan kekuasaannya
untuk melemahkan umat Islam. Sebagaimana khalifah Umar pernah menegur
sahabatnya karena telah mengangkat sekretarisnya dari orang kristen. Mengangkat
sekretaris saja sudah dilrang Umar apalagi mengangkat pemimpinnya.
b.
Dilarang
memilih pemimpin yang cenderung kepada kekafiran
Allah
pun melarang memilih pemimpin yang cenderung kepada kekafiran (pro kemaksiatan)
meskipun pemimpin tersebut adalah saudara kita (orang Islam). Tidak semua orang
yang mengaku islam akidah dan pola pikirnya Islam. Terkadang ada orang islam
yang justru pola pikirnya ingin mematikan nilai-nilai keislaman. Itulah orang-orang
yang memiliki pemahaman islamophobia, sekulerisme, plularisme, dan liberalisme.
Maka pemimpin yang seperti ini jangan dipilih karena tidak akan melakukan amar
makruf nahyi munkar, bahkan sebaliknya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ
وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu
menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan
siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim. (QS at-Taubah :
23)
Orang-orang
yang beriman tidak mungkin menjalin kasih sayang dengan orang-orang yang
memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Meskipun itu orang tuanya sendiri atau keluarga
terdekatnya. Karena cintanya orang beriman kepad Allah dan Rasul melebihi
kecintaannya kepada siapapun bahkan dirinya sendiri.
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu
tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. (QS
al-Mujadilah : 22)
Maka pilihlah
orang yang paling bertakwa kepada Allah, yang dekat dengan Allah dengan rajin
beribadah di masjid, kuat tahajudnya, istiqomah tilawahnya, adil, jujur,
amanah, juhud dan wara. Karena pemimpin yang seperti inilah yang akan membawa
keberkahan dunia dan akhirat.
c.
Memiliki kemampuan
memimpin
Sholeh dan
rajin ibadah tidaklah cukup untuk modal menjadi pemimpin. Tapi juga harus
memiliki kekuatan mempengaruhi orang lain, memiliki keberanian, mampu bertahan
dalam tekananan, punya mental kuat sehingga tidak mudah putus asa. Karena kepemimpinan
adalah masalah mempengaruhi orang lain. Orang yang sholeh tapi tidak memiliki
kekuatan pengaruh, maka kesholehannya hanya akan bermanfaat bagi dirinya
sendiri. Bahkan para ulama sampai mengatakan jika ada dua orang calon pemimpin,
yang satu sholeh tapi kurang kuat pengaruhnya, yang satu kurang sholeh tapi sangat
kuat pengaruhnya, maka pilihlah pemimpin yang kurang sholeh tapi sangat kuat
pengaruhnya karena dengan kekuatan pengaruhnya ia bisa membuat orang lain lebih
baik.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا
أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Dari Abu Dzar bahwasanya ia telah berkata, "Saya
pernah bertanya kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak
memberikan tugas kepada saya?' Sambil menepak pundak saya, beliau bersabda, "Hai
Abu Dzar, sesungguhnya kamu ini adalah orang yang lemah, sedangkan tugas yang
kamu minta itu merupakan sebuah amanat. Ketahuilah bahwasanya, pada hari kiamat
kelak, amanat tersebut merupakan sesuatu yang akan mendatangkan kenistaan dan
penyesalan, kecuali bagi orang yang mengembannya dengan benar serta memenuhi
segala kewajiban amanat yang telah dibebankan kepadanya." (HR Muslim
No. 1.852 Kitab al-Imarah Bab Karahah al-Imarah Bighairi Dlarurah)
Mewujudkan pemimpin
yang Adil
Kehadiran pemimpin
yang adil merupakan dambaan setiap orang. Jika seseorang mampu memimpin dengan
adil maka ia akan mendapat kemuliaan yang tinggi dari Allah. Karena keadilan
seorang pemimpin akan dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Sehingga kebaikan
dan keshalehan masyarakat pahalanya akan mengalir pada pemimpin. Pantas jika
Allah menempatkannya pada derajat yang sangat tinggi. Diantara tujuh golongan
yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat nanti, salah satunya
adalah pemimpin yang adil dan itu ditempatkan yang pertama oleh Rasulullah ﷺ
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الإِمَامُ
العَادِلُ
Ada tujuh
golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali
naungannya, yaitu pemimpin yang adil.... (HR Bukhari No. 660 Kitab al-Adzan
Bab Man Jalasa fii al-Masjid Yantadhiru al-Shalat wa fadhli al-Masajid)
Namun untuk
mewujudkannya bukanlah hal yang mudah, perlu perjuangan yang keras. Dan amanah
untuk mewujudkan itu dititipkan oleh Allah kepada setiap keluarga muslim agar
diantara keturunannya ada yang menjadi pemimpin bagi orang-orang yang betakwa. Sebagaimana
yang difirmankan Allah ﷻ
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan
orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa. (QS
al-Furqan : 74)
Jadi
untuk mewujudkan pemimpin yang adil itu harus dimulai dari pendidikan di
keluarga. Diawali dengan keshalehan suami istri (orang tua)baru diikuti oleh
anak keturunannya. Karena keshalehan orang tua ini yang akan berpengaruh besar
tehadap keshalehan anak-anaknya. Keluarga merupakan miniatur kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara. Ketika keshalehan sudah dimulai dari setiap
keluarga, kemudian diikuti RT, RW, Desa, Kecamatan, Kota, Kabupaten, Propinsi,
kemudian negara, insya Allah negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan
tercipta di bumi Indonesia. Pemimpin yang sholeh dan adil akan lahir dari
masyarakat yang sholeh dan adil, sebagaimana ungkapan
كَمَا
تَكُوْنُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
Sebagaimana
keadaan kalian, maka demikianlah kalian akan dimpimpin (oleh orang yang seperti
kalian)
Wallaahu ‘alam
bi al-Shawwab
*) Abu Faqih (Guru SMP DTBS Putra)